HSN,JAKARTA – Komisi VI DPR-RI mewanti-wanti Bank Himbara, khususnya PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) untuk waspada terkait risiko kredit macet transaksi ekspor, setelah merebaknya kasus dugaan tindak korupsi dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Anggota Komisi VI fraksi PDI Perjuangan Darmadi Durianto pada rapat dengar pendapat di gedung DPR-RI, meminta Bank BNI mengantisipasi kemungkinan debitur yang bermasalah di LPEI juga merupakan debitur di BNI.
“Masalah LPEI itu hati-hati nasabah grup bapak juga bukan? Grupnya TH dan wallet? Ini masalah sudah selesai belum? Ada dampak tidak ke eksportir kita? Antisipasi gimana migrasinya, grupnya HS banyak sekali kasus,” kata Darmadi di depan Direktur Utama Bank BNI Royke Tumilaar.
Darmadi juga mengapresiasi pemberian kredit Bank BNI yang semakin selektif belakangan ini. Meski begitu, bank diminta untuk tetap berhati-hati. “Tapi kita minta dijaga terus. Pengusaha itu lebih pinter dari bankir,” ungkap Darmadi.
Menanggapi hal itu, Royke mengatakan, pihaknya belum menerima informasi detail terkait nama-nama yang disebut Darmadi. Royke memastikan pihaknya telah menyiapkan langkah antisipati bila kekhawatiran itu terjadi.
“Tidak mungkin kalau dia di sana macet terus, kita gak macet. Kita siapkan kalau memang harus nanti sudah di Kejaksana Agung pasti kan akan pemeriksaannya sampai menyeluruh ya. Tapi kita sih ikut aja,” ujar Royke.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mendatangi Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (18/3/2024). Sri Mulyani melaporkan dugaan tindak korupsi dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Dugaan penyelewengan pemberian fasilitas kredit di LPEI terungkap lewat pemeriksaan yang dilakukan oleh tim terpadu bentukan Kementerian Keuangan. Menkeu Sri Mulyani turun gunung melaporkan dugaan tersebut langsung kepada Jaksa Agung di kantor Kejaksaan Agung.
Sri Mulyani melaporkan 4 debitur dengan total kredit mencapai Rp. 2,5 triliun. Empat perusahaan tersebut berinisial PT RII sebesar Rp. 1,8 triliun; PT SMS sebesar Rp. 216 miliar; PT. SPV sebesar Rp. 144 miliar; dan PT. PRS sebesar Rp. 305 miliar. Perusahaan tersebut bergerak di bidang batu bara, perkapalan, nikel dan kelapa sawit.
Kasus kredit ekspor bermasalah ini awalnya ditangani secara keperdataan dan tata usaha negara. Namun, dengan laporan yang dilakukan Sri Mulyani Cs, penanganan kasus terhadap empat perusahaan itu kini masuk ke ranah pidana yang ditangani oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus. (ndy)






